Selasa, 15 Juni 2010

hari ini, hidupku penuh tekanan...
ya ALLAH kokohkanlah pundakku menghadapi segala ujianMU
semoga seberat apapun bebenkau tak akan pernah terlontar kata"seandainya Ayah masih hidup" dari lisanku...
tingkatkanlah kesabaran hamba yang masih sangat sedikit
pasti ada hikmah di balik semuanya

Senin, 14 Juni 2010

Keresahanku

Hati ini resah, galau gemuruh
Terasa kental lumuran dosa
Hampa
Sepi senyap
Jiwa ini Ya...Robbi

Nostalgia masa silam
Meruntuhkan seringai senyum di bibir ini
Hanya bulir-bulir kepedihan
Ada di balik kelopak mata yang kian menghitam
Teringat dosa yang membukit

Ketakutan akan azab-Mu
Menghardik khayalku
Entah bagaimana kelak?
Tubuh ini akan kembali ke asal ciptanya
Aku sungguh tak kuasa
Ataukah memang tak pantas
Menemui-MU
Karena hamba penuh kenistaan

Sabtu, 05 Juni 2010

TINJAUAN PUSTAKA REFLEKS

Sensasi rasa lapar disebabkan oleh keinginan akan makanan dan beberapa pengaruh fisiologis lainnya, seperti kontraksi ritmis lambung dan kegelisahan, yang menyebabkan seseorang mencari suplai makanan yang adekuat. Nafsu makan seseorang adalah keinginan untuk mendapatkan makanan, sering kali untuk jenis makanan tertentu dan berguna untuk membantu memilih kualitas makanan yang akan dimakan. Jika proses pencarian makanan berhasil, rasa kenyang akan timbul. Setiap sensasi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya, serta oleh pengaturan fisiologis yang mempengaruhi pusat-pusat spesifik di otak, terutama hipotalamus (Guyton, 2007).
Beberapa pusat saraf di hipotalamus ikut serta dalam pengaturan asupan makanan. Nukleus lateral hipotalamus berfungsi sebagai pusat makan, dan perangsanagn area ini menyebabkan seekor hewan makan dengan rakus (hiperfagia). Sebaliknya, pengrusakan hipotalamus lateral menyebabkan hilangnya nafsu makan, pengurusan dan pelemahan tubuh (inanisi) yang progresif, suatu keadaan yang ditandai dengan pengurangan berat badan yang nyata, kelemahan otot, dan penurunan metabolisme. Pusat makan dihipotalamus lateral beroperasi dengan membangkitkan dorongan motorik untuk mencari makanan (Guyton, 2007).
Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang. Pusat ini dipercaya memberikan suatu sensasi kepuasan makanan yang menghambat pusat makan. Rangsangan listrik di daerah ini dapat menimbulkan rasa kenyang yang penuh, dan bahkan dengan adanya makanan yang sangat menggiurkan, binatang menolak untuk makan (afagia). Sebaliknya, destruksi nukleus ventromedial menyebabkan hewan makan dengan rakus dan terus menerus sampai hewan tersebut menjadi sangat gemuk, kadang-kadang sebesar empat kali normal (Guyton, 2007).
Pusat makan dan kenyang di hipotalamus memiliki kepadatan reseptor yang tinggi untuk neurotransmiter dan hormon yang mempengaruhi perilaku makan. Sebagian dari banyak zat yang telah terbukti mempu mengubah perilaku nafsu makan dan rasa lapar dan secara garis besar dibagi atas (1) zat oreksigenik yang menstimulasi rasa lapar, atau (2) zat anoreksigenik yang menghambat rasa lapar (Guyton, 2007).
Pengaturan jumlah asupan makanan dapat dibagi menjadi pengaturan jangka pendek, yang terutama mencegah perilaku makan yang berlebihan di setiap waktu makan, dan pengaturan jangka panjang, yang terutama berperan untuk mempertahankan energi yang disimpan di tubuh dalam jumlah normal (Guyton, 2007).
Pengaturan asupan makanan jangka pendek terjadi pada saat saluran cerna menjadi teregang, terutama lambung dan duodenum, sinyal inhibisi yang teregang akan dihantarkan terutama melalui nervus vagus untuk menekan pusat makan dan hormon kolesistokinin dilepaskan terutama sebagai respons lemak yang masuk ke duodenum dan memiliki efek langsung ke pusat makan. Adanya makanan dalam usus akan merangsang usus tersebut untuk menyekresi peptide mirip glukagon, yang selanjutnya akan meningkatkan produksi insulin terkait glukosa dan sekresi dari pankreas. Peptida mirip glukagon dan insulin cenderung menekan nafsu makan. Jadi, dengan memakan sejumlah makanan, akan merangsang pelepasan sejumlah hormon-hormon gastrointestinal yang dapat menimbulkan rasa kenyang dan mengurangi asupan makanan lebih lanjut (Guyton, 2007).
Sedangkan pengaturan asupan makanan jangka panjang berkaitan dengan efek kadar glukosa, asam amino, dan lipid dalam darah terhadap rasa lapar dan perilaku makan. Telah diketahui bahwa penurunan kadar gula darah akan menimbulkan rasa lapar, yang menimbulkan suatu hal yang disebut teori glukostatik pengaturan rasa lapar dan perilaku makan. Beberapa penelitian serupa juga menunjukkan bahwa efek yang sama dihasilkan dari kadar asam amino dan produk pemecahan lipid seperti asam keto dan beberapa asam lemak dalam darah, yang kemudian menghasilkan teori pengaturan lipostatik dan aminostatik. Yaitu, bila ketersediaan salah satu dari ketiga zat makanan tersebut berkurang, nafsu makan akan meningkat, yang akhirnya akan mengembalikan kadar zat tersebut dalam darah menjadi normal (Guyton, 2007).
Beberapa penelitian neurofisiologis di area spesifik otak juga mendukung teori glukostatik, aminostatik, dan lipostatik, dengan beberapa temuan berikut ini: (1) peningkatan kadar gula darah akan meningkatkan kecepatan bangkitan neuron glukoreseptor di pusat kenyang di nukleus ventromedial dan paraventrikular hipotalamus. (2) peningkatan kadar gula tersebut juga secara bersamaan menurunkan bangkitan neuron glukosensitif di pusat lapar hipotalamus lateral. Selain itu, beberapa asam amino dan lipid mempengaruhi kecepatan bangkitan neuron-neuron tersebut atau neuron lain yang terkait erat (Guyton, 2007).
Manfaat sistem pengaturan perilaku makan jangka panjang, yang meliputi semua mekanisme umpan balik energi nutrisi, membantu mempertahankan penyimpanan energi yang konstan di jaringan, agar tidak berlebihan atau kekurangan. Rangsangan pada sistem pengaturan jangka pendek mempunyai dua maksud. Pertama sistem tersebut cenderung membuat orang makan dalam jumlah yang lebih sedikit pada setiap waktu makan, yang memungkinkan sejumlah makanan dapat melewati saluran cerna dengan kecepatan yang stabil, sehingga mekanisme pencernaan dan absorbsi dapat bekerja pada kecepatan yang optimal dan tidak secara periodik terbebani oleh jumlah yang berlebihan. Kedua, sistem tersebut mencegah seseorang agar tidak makan dengan jumlah yang melebihi kapasitas sistem penyimpanan energi begitu semua makanan telah diabsorbsi (Guyton, 2007).
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat adanya penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Setiap orang sebenarnya memerlukan sejumlah lemak bagi tubuhnya untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, dan untuk berbagai fungsi lainnya. Umumnya wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas (www.google//Apakah .anda obesitas atau kelebihan berat badan.com ; 2008).
Obesitas itu sendiri digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu : obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%, obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%, dan obesitas berat : kelebihan berat badan lebih dari 100%
obesitas berat ditemukan sebanyak 5% di antara orang-orang yang gemuk. Selain jumlah lemak yang ditimbun, perlu juga diketahui lokasi penimbunan lemak dalam tubuh. Pola penyebaran lemak tubuh pada pria dan wanita adalah berbeda. Wanita cenderung menimbun lemaknya di pinggul dan bokong sehingga memberi gambaran seperti bentuk buah pir, sedangkan pada pria biasanya lemak ditimbun di sekitar perut sehingga memberi gambaran seperti bentuk buah apel (www.google//Apakah anda obesitas atau kelebihan berat badan.com. ; 2008).
Terlepas dari sindrom yang berkenaan dengan metabolisme, obesitas juga dihubungkan dengan berbagai komplikasi lain. Karena sebagian dari keluhan ini belum jelas menetapkan apa yang menyebabkan secara langsung oleh obesitas itu sendiri, atau mempunyai beberapa penyebab lain ( seperti latihan terbatas) yang menyebabkan obesitas.
Cardiovasculer: congestive [hati/jantung] gagal jantung dan yang dihubungkan oleh arrhythmias dan kepeningan, varic pose pembuluh darah, dan embolism (penyumbatan pembuluh darah) berkenaan dengan paru-paru
Endocrine: sindrom ovarian polycystic ( PCOS), haid tidak teratur dan tingkat kesuburan.
Gastrointestinal: gastroesophageal menyebabkan kembali penyakit (GERD), liver, cholelithiasis ( batu empedu), hernia, dan kanker colorectal.
berkenaan dengan ginjal Dan genitourinary: disfungsi erectil, air kencing yang tidak dapat dikendalikan, gagal ginjal kronis, hypogonadism (pria), kanker payudara, kanker rahim, meninggal pada saat lahir.
Musculoskeletal: hyperuricemia ( yang mempengaruhi encok), kelumpuhan, osteoarthritis, sakit punggung rendah
Mengenai ilmu penyakitsyaraf: yang pukulan, meralgia paresthetica, sakit kepala, tulang pergelangan tangan terowongan sindrom, dementia,[20] intracranial hipertensi idiopathic
Berhubung pernapasan: bersifat menghalangi tidur apnea, kegendutan hypoventilation sindrom, sakit asma
Psikologis: Tekanan, harga diri rendah, badan kekacauan dysmorphic, stigmatisasi sosial (www.google// Obesity - Wikipedia, the free encyclopedia.com ; 2008).

SISTEM GASTROINTESTINAL LANSIA


PENDAHULUAN
Di bidang gastroenterology, pada populasi usia lanjut sebenarnya tidak ada kelainan yang sangat khas. Walaupun terdapat perubahan sel dan structural seperti organ tubuh lainnya, fungsi system gastrointestinal pada umumnya dapat dipertahankan sebagaimana manusia sehat. Gangguan fungsi biasanya terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ tertentu, atau bilaman terjadi stress lain yang memperberat organ dari organ yang sudah mulai menurun fungsi dan anatomiknya.
PROSES PENUAAN PADA SALURAN CERNA (LAMBUNG)
Terjadi artropi mukosa. Artropi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan factor intrinsic berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tamping makanan menjadi lebih berkurang. Proses perubahan protein menjadi pepton terganggu. karena sekresi asam lambung berkuran, rasa lapar juga berkurang.
PENYAKIT DAN GANGGUAN PADA LAMBUNG
Walaupun jenis penyakit dan gangguan lambung pada populasi lansia dan dewasa muda serupa, akan tetapi penampilan dan penyebab penyakit dan gangguan tersebut seringkali berbeda. Hal ini karena adanya perubahan fisiologik dan berbagai penyakit ko-morbid yang sering terdapat pada usia lanjut. Tampilan penyakit dan gangguan lambung pada usia lanjut –termasuk penyakit peptic- sering tidak khas.